Jakarta - Dari 5 pound sterling, sejak dua bulan lalu harga syal bercorak biru langit-putih itu menjadi 8 pound (sekitar Rp 118 ribu). Pihak pemasaran Manchester City menaikkan banderolnya sembari mengubah brand: dari Manchester City’s scarf menjadi Roberto Mancini’s designer Italian bar scarf.
Pamor scarf City naik gara-gara Mancini selalu mengenakannya pada hari pertandingan-–sama seperti kebiasaan pelatih asal Italia ini di klub-klub yang pernah dia tangani (Fiorentina, 2001-2002; Lazio, 2002-2004; dan Inter Milan, 2004-2009). Tapi bukan karena syal bila City bermaksud menaikkan gaji Mancini dari 3,5 juta menjadi 5,5 juta pound (sekitar Rp 81 miliar) per tahun.
“Roberto layak mendapatkannya,” ujar David Platt, asisten Mancini, soal besaran gaji yang bakal setara dengan angka yang diperoleh Alex Ferguson di Manchester United atau Arsene Wenger di Arsenal. “Dia sudah membuktikan kinerjanya.”
Kenaikan gaji itu baru sebatas rumor. Konon, pemilik City, miliarder asal Uni Emirat Arab, Syekh Mansour bin Zayed Al Nahyan, bakal menyodorkan angka itu bila klubnya benar-benar menjadi juara Liga Primer Inggris. Artinya, City harus memenangi pertandingan atas tim tamu, Queens Park Rangers, dalam laga penutup musim hari ini. Berbekal superioritas pada perbedaan gol, tambahan tiga angka membuat posisi City sulit dikejar rival terdekat mereka, MU.
Platt telah mengenal Mancini sejak sama-sama bermain untuk Sampdoria, pertengahan 1990-an. “Sejak masih sebagai pemain, Roberto telah menunjukkan kelebihan visinya soal posisi terbaik bagi masing-masing orang di lapangan,” kata mantan gelandang nasional Inggris ini.
Di City, Mancini menjadikan David Silva, mantan penyerang sayap kiri Valencia, sebagai playmaker. Hasilnya, pemain mungil Spanyol itu berkembang menjadi roh serangan yang tak tertandingi. Mantan gelandang bertahan Barcelona, Yaya Toure, diberi kesempatan lebih banyak untuk menyerang. Sepekan lalu, pemain asal Pantai Gading ini memborong dua gol kemenangan ke gawang Newcastle United.
Bakat kepelatihannya mendapatkan pelajaran lain dari Liga Inggris: mind game alias perang psikologis. Ini tak pernah dia lakukan di negeri asalnya, baik kala memberikan gelar Coppa Italia kepada Fiorentina dan Lazio maupun ketika tiga kali berturut-turut mempersembahkan scudetto seri A untuk Inter Milan.
Awal April lalu, The Citizens-–julukan City-—kalah 0-1 di kandang Arsenal. “Perebutan gelar telah selesai,” kata Mancini saat itu sambil menunjuk selisih poin timnya yang kalah delapan angka dibanding MU. Namun para pemain City tahu, itu sekadar mind game Mancini. “Di ruang ganti dia mengatakan kepada kami, ‘Anak-anak, kita tak boleh berputus asa, MU mungkin bakal kehilangan beberapa poin dan kita bisa kembali ke jalur’,” ujar Yaya Toure.
Kata-kata Mancini terbukti. MU lantas kalah oleh Wigan, ditahan Everton, dan ditundukkan City. Sebaliknya, City lima kali menang beruntun. Walhasil, menjelang pekan terakhir ini, nilai kedua tim dari kota terbesar ketiga di Inggris itu sama-sama 86 poin. Tapi City memiliki selisih gol jauh lebih baik.
Ferguson ahli dalam mind game. Menjelang pertemuan kedua klub di kandang City, dua pekan lalu, pelatih gaek asal Skotlandia ini mengatakan laga itu bakal menentukan nasib Mancini. Mancini menjawab, “Tak perlu ada yang dikhawatirkan, kalah atau menang pemilik City mendukung saya penuh.” Kata-kata siapa yang benar, itu tak penting. Faktanya, City mengalahkan MU 1-0.
Untuk satu hal, Ferguson mungkin benar. Siapa pun pemilik City, dia pasti berpikir ulang untuk mendepak atau mempertahankan pelatih, mengingat besarnya uang yang telah dipertaruhkan. Sejak membeli klub itu, Syekh Mansour telah menggelontorkan 400 juta pound (hampir Rp 6 triliun) untuk membeli pemain, baik pada masa Mark Hughes maupun Mancini.
Sang syekh meluluskan permintaan Mancini mendatangkan Yaya, Edin Dzeko, Silva, dan Samir Nasri. Semuanya mahal. Dan, sejak menjadi pelatih City, mulai Desember 2009, Mancini baru memberikan sebuah trofi, Piala FA, musim lalu. Bila musim ini gelar Liga Primer lepas lagi, kemungkinan besar nasib Mancini memang di ujung tanduk.
Bila berani menyambut kata-kata Ferguson dengan tenang, sekalem itukah pembawaan Mancini yang sebenarnya? Sebuah cerita lama keluar dari mulut mantan penyerang Inter yang kini bermain untuk AC Milan tersebut. Pada Februari 2008, Inter sempat unggul 11 poin dari AS Roma. Namun Mancini lantas grogi yang berimbas pada permainan para pemainnya. Meski akhirnya menjadi juara, Inter cuma unggul tiga poin dari Roma di klasemen akhir.
“Saya mendengar pembicaraan Mancini dengan para stafnya,” kata Ibrahimovic. “Mereka sangat khawatir. Akhirnya, kami juga menjadi kehilangan kepercayaan diri, bahkan saat berhadapan dengan tim-tim kecil.”
Pria berambut pirang itu bahkan sempat bersitegang dengan salah satu penyerang seniornya, Luis Figo, yang membuat mereka tak saling sapa selama setengah tahun. Mancini juga bertengkar dengan tim dokter yang dia anggap tak pintar menangani deraan cedera yang menghinggapi skuad Inter.
Mancini seperti mengulang problem-problemnya di Inter sekarang. Dia kerap bertengkar dengan penyerang bengal Mario Balotelli, dan memaki tim dokter dengan sebutan “bodoh” tatkala mereka merawat cedera Sergio Aguero.
“Pada dasarnya, Roberto cepat naik darah meski dia juga gampang mendapat simpati dari banyak orang,” kata Sven Goran Eriksson, mantan pelatih Mancini di Sampdoria. “Ingatlah kasus final Liga Champions 1991/1992.” Setelah timnya kalah 0-1 dari Barcelona, Mancini, yang masih menjadi pemain Sampdoria, mendatangi wasit dan memaki-maki karena menilai mereka berat sebelah. UEFA lantas menjatuhkan hukuman tak boleh bermain selama tiga pertandingan.
Laga hari ini bakal menjadi penentu takdir Mancini: seorang pecundang di Liga Inggris yang gagal mengatasi masalah di ruang ganti atau seorang yang telah tumbuh lebih matang? Bila sukses, ini trofi Liga Inggris pertama dalam 44 tahun bagi City.
Kalah atau menang, syal tetap mengikat leher Roberto Mancini hari ini.
ROBERTO MANCIN
Kelahiran: Jesi, Ancona, Italia, 27 November 1964
Tinggi badan: 179 sentimeter
Posisi bermain: gelandang serang/striker
Karier pemain: Bologna (1981-1982), Sampdoria (1982-1997), Lazio (1997-2001), Leicester (2001), tim nasional Italia (1984-1994)
Karier pelatih: Fiorentina (2001-2002), Lazio (2002-2004), Inter Milan (2004-2009), Man. City (2009–sekarang)
Gelar pemain:
Sampdoria: Seri A 1990/1991, 3 kali Coppa Italia, Piala Super Italia 1991, Piala Winners 1989/1990
Lazio: Seri A 1999/2000, 2 kali Coppa Italia, Piala Super Italia 1998, Piala Winners 1998/1999, Piala Super Eropa 1999
Gelar pelatih
Fiorentina: Coppa Italia 2000/2001
Lazio: Coppa Italia 2003/2004
Inter Milan: 3 kali Seri A (2005/2006, 2006/2007, 2007/2008), 2 kali Coppa Italia (2004/2005, 2005/2006), 2 kali Piala Super Italia (2005, 2006)
Manchester City: Piala FA 2010/2011
Gelar individu: pemain terbaik versi Guerin (1998, 1991), pemain terbaik Seri A 1997, pemain terbaik Italia 1997, pelatih terbaik Liga Inggris (Desember 2010 dan Oktober 2011)
Sumber : TEMPO.CO
0 comments:
Post a Comment